Bagi segenap rekan-rekan yang ingin ikut meramaikan weblog Santri Cyber Community, silahkan kirim artikel atau tulisan anda ke email kami : santricyber@ymail.com Kriteria : 1. Topik bahasan bebas asalkan sopan dan tidak bertentangan dengan syara'. 2. artikel atau tulisan boleh mengandung gambar atau yang lain. 3. Sertakan nama, alamat kota ( bisa juga alamat ponpes ) saudara. Tulisan anda akan kami posting pada weblog Santri Cyber Community Semoga tulisan-tulisan yang rekan-rekan buat, bisa memberi manfaat bagi rekan yang lain. Salam, Admin

Kamis, 16 Juli 2009

Santri di Era Globalisasi

Istilah santri begitu populer di telinga masyarakat. Hal ini karena beberapa faktor. Pertama, santri dikenal sebagai bagian kecil dari komunitas masyarakat yang teguh mempertahankan tradisi ulama klasik dalam amal maupun pemikiran. Peran santri dalam bidang ini tampak dari upaya mereka untuk senantiasa mengkaji kitab-kitab klasik dengan tekun. Kitab kuning menjadi makanan sehari-hari dengan berbagai metode yang digunakan untuk memudahkan pemahaman. Selain itu, santri diketahui mempunyai komitmen tinggi untuk mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam, bahkan dalam amal yang begitu teguh. Mereka menjalankan tirakat atau riyadlah sebagai bentuk penyucian jiwa dari dosa dan kotoran yang menutupi bashirah. Tak heran, masyarakat menganggap mereka mempunyai kemampuan lebih dibanding dengan kelompok lain.

Kedua, santri dikenal menjunjungkan tinggi kekeluargaan dan kebersamaan. Di saat masyarakat terkotakkan dalam beberapa tingkat sosial, justru mereka bisa mengambil contoh terbaik tentang peleburan itu di dalam santri. Dengan kekeluargaan, bentuk penghargaan kepada pihak-pihak yang seharusnya ditempatkan pada posisi mulya dihargai. Penghargaan itu tampak dari sikap-sikap kepada yang lebih tua, atau dari yang tua kepada yang muda. Layaknya keluarga, masing-masing merasakan sebagai bagian yang lain. Dengan begitu, tertata regenerasi yang tak pernah putus yang terpelihara dari masa ke masa dalam perjalanan pencarian ilmu itu.

Kekeluargaan bukan berarti sebuah sekat sosial dalam pesantren, justru di situ kebersamaan semakin merekat. Kebersamaan yang tampak di santri adalah dalam amal, bahkan hal privasi. Barangkali, santri begitu semangat mewarisi suri tauladan Nabi dalam keluarga sekaligus. Melalui kebersamaan, beberapa kegiatan yang kelihatan sepele direspon oleh mereka secara serempak untuk tolong-menolong saling memberikan yang terbaik antara masing-masing. Mujahadah, yang sebenarnya lebih banyak berada di wilayah hubungan personal dengan Tuhannya, dilaksanakan secara serempak. Kebersamaan dan kekeluargaan tersebut tercium oleh masyarakat sekaligus terejawentahkan dengan mereka dalam aktifitas sosial massif. Tak heran, bila masyarakat mengenal santri sebagai sosok yang luwes bergaul dengan mereka sekaligus ringan tangan membantu mereka.

Ketiga, santri dikenal arif dalam dakwah dengan mengambil kearifan lokal sebagai media bukan sebagai “hantu” yang harus dikafirkan dan dihanguskan. Kita bisa menyaksikan betapa Kyai-kyai zaman dahulu hingga sekarang amat bijak mengambil sikap terhadap masyarakat sekitar pesantren untuk diajak secara bersama-sama membuat kesejukan dunia dan mengesakan Tuhan Maha Satu semata. Secara psikologis, dakwah ini mudah diterima, karena lebih mengedepankan substansi ketimbang urusan formalitas yang sama sekali tidak membumi. Maka, dakwah model ini sebenarnya merupakan metode saja yang tidak menodai ajaran Islam. Kesuksesan Kyai-kyai dalam menggaet masyarakat lebih humanis dan religius dapat kita jadikan contoh dan referensi.

Tiga bagian di atas adalah corak yang paling tampak tentang santri. Membaca secara internal, santri tentu tidak boleh bangga dengan semata mempunyai identitas-identitas di atas. Melainkan, santri harus mempunyai komitmen tinggi untuk intens mengembangkan ilmu pengetahuan agama yang merupakan modal besar dalam menjawab permasalahan masyarakat tempat tinggalnya kelak. Pengembangan ilmu pengetahuan agama dapat digali dari sumber otentiknya melalui jalur riwayat yang tidak pernah putus sampai kita. Kitab-kitab ulama klasik diwariskan secara muttashil kepada santri. Dalam keyakinan santri, kitab-kitab tersebut – yang terkenal dengan kitab kuning – merupakan bentuk interpretasi terhadap al-Qur’an dan hadis. Tentang dua kitab tersebut, semua sepakat bahwa pedoman dunia akhirat terletak di sana. Dengan demikian, memahami kitab kuning merupakan bentuk pemahaman terhadap al-Qur’an dan hadis.

Dari berbagai dimensi, kitab kuning seolah memanjakan kita untuk menganggap cukup mendalaminya dan berhenti di situ saja. Kitab kuning membahas seluruh dimensi kehidupan, dunia dan akhirat. Padahal, santri harus bijak merespon fakta sosial yang terus bergulir dengan tanpa memaksakan sesuatu yang memang sudah tidak bisa dijawab dengan referensi kitab kuning. Di sini, santri harus cerdas memberikan terobosan-terobosan up date sesuai prinsip-prinsip yang dicantumkan dalam kitab kuning.

Secara lebih tegas, dalam kancah pengembangan keilmuan, santri mempunyai tugas sebagai berikut. Pertama, santri menjaga komitmen untuk senantiasa mengamalkan ajaran Islam dari sumber-sumber yang kuat tanpa kontradiksi. Dalam menghadapi suatu masalah, santri menjawab berdasarkan perspektif sumber tertentu yang terkuatkan oleh sumber lain, tanpa ada kontradiksi. Kedua, santri mempunyai pandangan yang holistik tentang permasalahan-permasalahan. Koherensi pemikiran terhadap fakta sosial merupakan kecerdasan yang dimiliki santri. Masalah sosial bukan berarti lepas dari masalah teologi, juga tidak dapat dipisahkan dari wilayah moral. Dengan demikian, berbagai perspektif telah disiapksan santri. Tentu, ini melihat kebutuhan konteks. Ketiga, teori yang diterima dan dipelajari santri sejalan dengan prakteknya. Korespondesi ilmu dan amal merupakan suatu keharusan bagi seorang santri.

Melihat tantangan yang semakin runyam, tugas santri dalam wilayah sosial semakin terasa. Bekal-bekal yang diperoleh santri di pesantren dengan epistemologi di atas seharusnya dapat diaplikasikan secara nyata di masyarakat kelak. Semakin hari, masyarakat semakin gersang hingga memandang kebenaran dan kesalahan hampir mirip dan semakin kabur. Santri tidak boleh tinggal diam atas penyakit ini. Sensivitas yang tinggi merupakan modal spiritual guna cepat tanggap terhadap masalah sosial. Menilik perjuangan Kyai-kyai, santri tidak boleh mundur satu langkah pun. Merasakan permasalahan aktual, santri tidak boleh membisu tanpa respon sebagai suntikan yang mengobati. Membayangkan masa depan, santri tidak boleh pesimis. Bukanlah santri, apabila mati oleh terpaan angin patologis, bukanlah santri apabila tidak memandang cahaya pencerahan di masa mendatang. Wallahu a’lamu bi al-shawab.(red-Alw)
sumber : http://pplq.wordpress.com/2009/06/19/santri-di-era-globalisasi/

Artikel yang Berhubungan :



0 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Sosok Juang












KH. Abdul Wahid Hasyim,
Pembaharu Dunia Pesantren
Read More>>>

  © Blogger template PingooIgloo by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP