PESANTREN DALAM PROSES TRANSFORMASI SOSIAL DAN MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM
Institusi pendidikan di Indonesia yang telah mengenyam sejarah paling panjang di antaranya adalah pesantren. Institusi ini lahir, tumbuh, dan berkembang telah lama. Bahkan, semenjak belum dikenalnya lembaga pendidikan lainnya di Indonesia, pesantren telah hadir lebih awal.
Dalam kesejarahannya yang amat panjang itu, pesantren terus berhadapan dengan banyak rintangan, di antaranya pergulatan dengan modernisasi. M. Dawam Rahardjo, salah seorang pemikir muslim Indonesia, pernah ‘menuduh’ bahwa pesantren merupakan lembaga yang kuat dalam mempertahankan keterbelakangan dan ketertutupan. Dunia pesantren memperlihatkan dirinya bagaikan bangunan luas, yang tak pernah kunjung berubah. Ia menginginkan masyarakat luar berubah, tetapi dirinya tidak mau berubah. Oleh karena itu, ketika isu-isu modernisasi dan pembangunan yang dilancarkan oleh rezim negara jelas orientasinya adalah pesantren.[1]
Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga kependidikan yang tahan terhadap gelombang modernisasi. Padahal, di berbagai kawasan Dunia Muslim, lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seringkali lenyap, tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan modern atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum; atau setidak-tidaknya menyesuaikan diri dan mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan modern itu. Kenyataan ini dapat dilihat pada kelembagaan pendidikan tradisional di kawasan Timur Tengah yang tersimplifikasi atas tiga jenis: madrasah, kuttab, dan masjid. Hingga pertengahan akhir abad ke-19, ketiga lembaga pendidikan tradisional Islam ini relatif mampu bertahan. Akan tetapi, sejak perempatan terakhir abad ke-19, gelombang pembaharuan dan modernisasi yang semakin kencang telah menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak bisa dimundurkan lagi dalam eksistensi lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional itu.
Dalam catatan Azyumardi Azra, pembaharuan dan modernisasi pendidikan Islam dimulai di Turki pada awal pertengahan abad ke-19 yang kemudian menyebar hampir ke seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani di Timur Tengah. Akan tetapi, program pembaharuan pendidikan di Turki itu semula tidak menempatkan medresse (madrasah) sebagai obyek pembaharuan. Yang terjadi adalah pembentukan sekolah-sekolah baru sesuai dengan sistem pendidikan Eropa, yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan reformasi militer dan birokrasi Turki Usmani, yang ditandai dengan kemunculan “Mekteb-ilm-I Harbiye” (sekolah militer) pada 1834 sesuai dengan model Prancis. Tekanan paling kuat yang dihadapi oleh Medresse terjadi pada 1924 ketika Musafa Kemal Ataturk menghapuskan sistem medresse dengan mengubahnya menjadi sekolah-sekolah umum.[2]
Nasib yang sama dengan Madrasah juga dialami oleh lembaga pendidikan kuttab di Mesir. Muhammad Ali Pasya pada tahun 1833 mengeluarkan dekrit pembentukan sekolah dasar dan menengah umum dengan mengajarkan ilmu-ilmu umum, seperti ilmu ukur, aljabar, menggambar, dan lain-lain. Sekolah umum itu pada awalnya hidup berdampingan dengan madrasah dan kuttab. Akan tetapi, pada kelanjutannya madrasah dan kuttab secara umum tidak mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan kedua lembaga itu hanya menjadi pelengkap bagi sekolah umum, terutama untuk mendapatkan tambahan pelajaran agama. Tantangan ini mencapai titik klimaknya pada tahun 1961 ketika Gamal Abdel Nasser menghapuskan sistem madrasah dan kuttab.[3]
Pengalaman lembaga pendidikan tradisonal Islam di Turki dan Mesir di atas agaknya cukup memadai untuk mendeskripsikan proses-proses memudar dan lenyapnya sistem pendidikan tradisional Islam dalam alunan gelombang modernisasi yang dibunyikan oleh para penguasa di masing-masing negara tersebut. Kondisi sosiologis dan politis yang menimpa medresse di Turki atau madrasah dan kuttab di Mesir pada segi-segi tertentu agaknya berbeda dengan situasi sosiologis yang mengitari pesantren di Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut pada gilirannya membuat pesantren mampu tetap bertahan.
Respon Pesantren
Gelombang modernisasi sistem pendidikan di Indonesia pada awalnya tidak dikumandangkan oleh kalangan Muslim. Sistem pendidikan modern pertama kali yang pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan Islam justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda, terutama dengan mendirikan volkschoolen, sekolah rakyat atau sekolah desa. Akan tetapi, sekolah desa ini pada awalnya cukup mengecewakan, lantaran tingkat putus sekolah yang sangat tinggi dan mutu pengajaran yang amat rendah. Namun di sisi lain, eksperimentasi Belanda dengan sekolah desa atau sekolah nagari, sejauh dalam kaitannya dengan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam, merupakan transformasi sebagian surau di Minangkabau menjadi sekolah nagari model Belanda.
Di samping menghadapi tantangan dari sistem pendidikan Belanda, pendidikan tradisional Islam, dalam hal ini pesantren, juga berhadapan dengan tantangan yang datang dari kaum reformis atau Modernis muslim. Gerakan reformis Muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20 menuntut diadakannya reformulasi sistem pendidikan Islam guna menghadapi tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen. Dalam konteks ini, reformasi kelembagaan pendidikan modern Islam diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam, seperti Sekolah Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada 1909 dan sekolah-sekolah umum model Belanda yang mengajarkan al-Quran, yang didirikan oleh organisasi semacam Muhammadiyah. Kedua, madrasah-madrasah modern yang pada titik tertentu menganulir substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda, seperti Sekolah Diniyah Zainuddin Labay el-Yunusi atau Sumatera Thawalib.
Berkaitan dengan kenyataan di atas, ada benarnya jika kemudian analisis Karel A. Stenbrink dimunculkan. Menurut pengamat keislaman asal Belanda itu, pesantren meresponi atas kemunculan dan ekspansi sistem pendidikan modern Islam dengan bentuk “menolak sambil mengikuti”.[4] Komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis, tetapi pada saat yang sama mereka juga mengikuti jejak langkah kaum reformis dalam batas-batas tertentu yang sekiranya pesantren mampu tetap bertahan. Oleh karena itu, pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan adjustment yang dianggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren, tetapi juga bermanfaat bagi para santri. Dalam wujudnya secara kongkrit, pesantren merespon tantangan itu dengan beberapa bentuk. Pertama, pembaruan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum dan keterampilan (vocational).[5] Kedua, pembaharuan metodologi, seperti sistem klasikal dan penjenjangan.[6] Ketiga, pembaharuan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan.[7] Dan Keempat, pembaruan fungsi, dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial-ekonomi.[8]
Indigenousitas Pesantren
Pesantren merupakan dunia tradisonal Islam yang mampu mewarisi dan memelihara kesinambungan tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu. Oleh karena itu, ketahanan lembaga pesantren agaknya secara implisit menunjukkan bahwa dunia Islam tradisi dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan di tengah deru modernisasi, meskipun bukan tanpa kompromi. Memang, pada awalnya, dunia pesantren terlihat ‘rikuh’ dan hati-hati dalam menerima modernisasi sehingga terdapat ‘kesenjangan antara pesantren dengan dunia luar’. Akan tetapi, secara gradual pesantren melakukan akomodasi dan konsesi tertentu yang dipandangnya cukup tepat dalam menghadapi modernisasi dan perubahan secara luas. Akan tetapi, satu hal yang perlu diingat bahwa semua akomodasi dan konsesi itu dilakukan pesantren tanpa mengorbankan esensi dan hal-hal dasariah eksistensi pesantren.
Keniscayaan bahwa pesantren tetap utuh hingga kini bukan hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam melakukan akomodasi-akomodasi tertentu seperti terlihat di atas, tetapi juga lebih banyak disebabkan oleh karakter eksistensialnya. Karakter yang dimaksud adalah, sebagaimana dikatakan oleh Nurcholish Madjid, pesantren tidak hanya menjadi lembaga yang identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai lembaga yang murni berkarakter keindonesiaan, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya, sehingga antara pesantren dengan komunitas lingkungannya memiliki keterkaitan erat yang tidak bisa terpisahkan. Hal ini tidak hanya terlihat dari hubungan latar belakang pendirian pesantren dengan lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, sadaqah, hibah, dan sebagainya. Sebaliknya, pihak pesantren melakukan ‘balas jasa’ kepada komunitas lingkungannya dengan bermacam cara, termasuk dalam bentuk bimbingan sosial, kultural, dan ekonomi. Dalam konteks terakhir inilah, pesantren dengan kyainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai ‘cultural brokers’ (pialang budaya) dalam pengertian seluas-luasnya.
Pesantren dan Perubahan Sosial
Di samping karakter dasariah di atas, pesantren juga memiliki karakter plural, tidak seragam. Pluralitas pesantren ini di antaranya ditunjukkan oleh tiadanya sebuah aturan apapun—baik menyangkut manajerial, administrasi, birokrasi, struktur, budaya, kurikulum maupun apalagi pemihakan politik—yang dapat mendefinisikan pesantren menjadi tunggal. Aturan hanya datang dari pemahaman keagamaan yang dipersonifikasikan melalui berbagai Kitab Kuning. RMI (rabithah Ma’ahid al-Islamiyah), Asosiasi Pondok Pesantren Seluruh Indonesia, dan NU (Nahdlatul Ulama) sekalipun tidak mempunyai kekuatan untuk memaksa pesantren. Oleh karena tingkat pluralitas dan independensi yang kuat inilah, dirasakan sulit untuk memberikan rumusan konseptualisasi yang definitif tentang pesantren.[9]
Atas kemandirian pesantren ini, Martin van Bruinessen, salah seorang peneliti keislaman dari Belanda, meyakini bahwa di dalam pesantren terkandung potensi yang cukup kuat dalam mewujudkan masyarakat sipil (civil society). Sungguhpun demikian, menurutnya, demokratisasi tetap tidak bisa diharapkan melalui instrumentasi pesantren. Sebab, dalam pandangan Martin, kiai-ulama di pesantren adalah tokoh yang lebih dominan didasarkan atas nilai kharisma. Sementara, antara kharisma dan demokrasi, keduanya tidak mungkin menyatu.[10] Walaupun demikian, menurut Martin, kaum tradisional, termasuk komunitas pesantren, di banyak negara berkembang tidak dipandang sebagai kelompok yang resisten dan mengancam modernisasi.[11] Dalam kaitan ini, penting dikemukakan hasil analisis Snouck Hurgronje yang mempermasalahkan kaum tradisional. Hurgronje mencatat bahwa,
“Islam tradisional Jawa, oleh sebagian kalangan, dianggap demikian statis dan demikian kuat terbelenggu oleh pikiran-pikiran ulama abad pertengahan. Sebenarnya tidak demikian. Mereka telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental, tetapi perubahan-perubahan itu dilakukan melalui tahapan-tahapan yang rumit dan tersimpan. Lantara itulah, para pengamat yang kurang mengenal pola pikiran Islam tradisional tidak bisa melihat perubahan-perubahan itu, walaupun sebenarnya hal itu terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara seksama”.[12]
Watak dasariah pesantren yang diidentikkan dengan penolakan terhadap isu-isu pemusatan (sentralisasi) merupakan potensi luar biasa bagi pesantren dalam memainkan transformasi sosial secara efektif. Oleh karenanya, pesantren adalah kekuatan masyarakat dan sangat diperhitungkan oleh negara. Oleh karena itu, dalam kondisi sosial-politik yang serba menegara dan dihegemoni oleh wacana kemodernan, pesantren dengan ciri-ciri dasariahnya mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama kepada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan, dengan kemampuan fleksibilitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial-budaya, bahkan politik dan ideologi negara, sekalipun.[13]
Akhir
Memperhatikan wacana di atas, tampaknya cukup jelas bahwa pesantren memiliki kekuatan-internal dalam menghadapi gelombang modernisasi. Pada sisi kelembagaan pendidikan, pesantren tidak runtuh oleh derasan angin modern, berbeda dengan pengalaman lembaga pendidikan tradisional Islam lainnya yang pada titik tertentu lenyap dari deretan sejarah modern. Hal ini agaknya lebih banyak disebabkan oleh faktor dasariah yang dimiliki pesantren, di antaranya adalah menjadi lembaga indigenous keindonesiaan yang menyimpan kekuatan dalam kemandirian dan non-sentralisme. Kekuatan inilah pada akhirnya menjadi potensi yang luar biasa dalam melakukan usaha pemberdayaan masyarakat.
[1] Lihat M. Dawam Rahadjo, “Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan” dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), cet. ke-5, hal. 1.
[2] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. ke-1, hal. 95-96.
[3] Ibid.
[4] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986).
[5] Pesantren yang paling depan dalam bentuk respon ini adalah Pesantren Mambaul Ulum di Surakarta. Pesantren yang didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono pada tahun 1906 memasukkan mata pelajaran membaca (tulisan Latin), aljabar, dan berhitung ke dalam kurikulumnya. Langkah ini kemudian diikuti oleh pesantren lainnya, seperti Pesantren Tebuireng, dan Pondok Modern Gontor. Sementara pesantren yang menyediakan pendidikan dan pelatihan (vocational) adalah organisasi Persarekatan Ulama di Jawa Barat yang pada tahun 1932 mendirikan “Santri Asrama” dengan Haji Abdul Halim sebagai penggeraknya.
[6] Pesantren dengan menggunakan sistem klasikal dan penjenjangan ini tampaknya sangat banyak, terutama ketika pesantren bersentuhan dengan sistem lembaga persekolahan.
[7] Untuk sekedar menyebut contoh, Pesantren Maskumambang di Gresik didirikan pada 1859 yang dipimpin secara individual oleh KH. Abdul Jabbar. Akan tetapi, pada tahun 1958, kepemimpinan pesantren ini diserahkan kepada Yayasan Kebangkitan Umat Islam. Diversifikasi kelembagaan juga dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah umum yang mengikuti sistem dan kurikulum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Misalnya, Pesantren Miftahul Muta’allimin di Babakan Ciwaringin Cirebon mendirikan sebuah STM, Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang pada September 1965 mendirikan Universitas Darul Ulum yang terdaftar pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[8] Pesantren Tebuireng dan Rejoso terutama pada masa-masa kesulitan ekonomi pada dekade 1950-1960 mengarahkan para santrinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan vocational dalam bidang pertanian, seperti penanaman padi, kelapa, tembakau, kopi, dan lain-lain.
[9] Marzuki Wahid, “Pesantren di Lautan Pembangunanisme: Mencari Kinerja Pemberdayaan”, dalam Marzuki Wahid, et.al (ed.) Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet. ke-1, hal. 145-147.
[10] Martin van Bruinessen, “Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Paska Khittah 26: Pergulatan NU Dekade 90-an”, dalam Ellyasa K.H. Darwis (ed.), Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1994), cet. ke-1, hal. 77-78.
[11] Pengantar LKiS dalam Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. vi.
[12] Dikutip dari Clifford Geertz, “Modernization in A Moslem Society: The Indonesian Case”, da;am Quest, vol. 39 (Bombay: 1963), hal. 16.
[13] Baca Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), cet. ke-1.
sumber :http://suwendi2000.wordpress.com/2009/06/22/pesantren-dalam-proses-transformasi-sosial/
0 komentar: