Bagi segenap rekan-rekan yang ingin ikut meramaikan weblog Santri Cyber Community, silahkan kirim artikel atau tulisan anda ke email kami : santricyber@ymail.com Kriteria : 1. Topik bahasan bebas asalkan sopan dan tidak bertentangan dengan syara'. 2. artikel atau tulisan boleh mengandung gambar atau yang lain. 3. Sertakan nama, alamat kota ( bisa juga alamat ponpes ) saudara. Tulisan anda akan kami posting pada weblog Santri Cyber Community Semoga tulisan-tulisan yang rekan-rekan buat, bisa memberi manfaat bagi rekan yang lain. Salam, Admin

Kamis, 16 Juli 2009

Santri di Era Globalisasi

Istilah santri begitu populer di telinga masyarakat. Hal ini karena beberapa faktor. Pertama, santri dikenal sebagai bagian kecil dari komunitas masyarakat yang teguh mempertahankan tradisi ulama klasik dalam amal maupun pemikiran. Peran santri dalam bidang ini tampak dari upaya mereka untuk senantiasa mengkaji kitab-kitab klasik dengan tekun. Kitab kuning menjadi makanan sehari-hari dengan berbagai metode yang digunakan untuk memudahkan pemahaman. Selain itu, santri diketahui mempunyai komitmen tinggi untuk mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam, bahkan dalam amal yang begitu teguh. Mereka menjalankan tirakat atau riyadlah sebagai bentuk penyucian jiwa dari dosa dan kotoran yang menutupi bashirah. Tak heran, masyarakat menganggap mereka mempunyai kemampuan lebih dibanding dengan kelompok lain.

Kedua, santri dikenal menjunjungkan tinggi kekeluargaan dan kebersamaan. Di saat masyarakat terkotakkan dalam beberapa tingkat sosial, justru mereka bisa mengambil contoh terbaik tentang peleburan itu di dalam santri. Dengan kekeluargaan, bentuk penghargaan kepada pihak-pihak yang seharusnya ditempatkan pada posisi mulya dihargai. Penghargaan itu tampak dari sikap-sikap kepada yang lebih tua, atau dari yang tua kepada yang muda. Layaknya keluarga, masing-masing merasakan sebagai bagian yang lain. Dengan begitu, tertata regenerasi yang tak pernah putus yang terpelihara dari masa ke masa dalam perjalanan pencarian ilmu itu.

Kekeluargaan bukan berarti sebuah sekat sosial dalam pesantren, justru di situ kebersamaan semakin merekat. Kebersamaan yang tampak di santri adalah dalam amal, bahkan hal privasi. Barangkali, santri begitu semangat mewarisi suri tauladan Nabi dalam keluarga sekaligus. Melalui kebersamaan, beberapa kegiatan yang kelihatan sepele direspon oleh mereka secara serempak untuk tolong-menolong saling memberikan yang terbaik antara masing-masing. Mujahadah, yang sebenarnya lebih banyak berada di wilayah hubungan personal dengan Tuhannya, dilaksanakan secara serempak. Kebersamaan dan kekeluargaan tersebut tercium oleh masyarakat sekaligus terejawentahkan dengan mereka dalam aktifitas sosial massif. Tak heran, bila masyarakat mengenal santri sebagai sosok yang luwes bergaul dengan mereka sekaligus ringan tangan membantu mereka.

Ketiga, santri dikenal arif dalam dakwah dengan mengambil kearifan lokal sebagai media bukan sebagai “hantu” yang harus dikafirkan dan dihanguskan. Kita bisa menyaksikan betapa Kyai-kyai zaman dahulu hingga sekarang amat bijak mengambil sikap terhadap masyarakat sekitar pesantren untuk diajak secara bersama-sama membuat kesejukan dunia dan mengesakan Tuhan Maha Satu semata. Secara psikologis, dakwah ini mudah diterima, karena lebih mengedepankan substansi ketimbang urusan formalitas yang sama sekali tidak membumi. Maka, dakwah model ini sebenarnya merupakan metode saja yang tidak menodai ajaran Islam. Kesuksesan Kyai-kyai dalam menggaet masyarakat lebih humanis dan religius dapat kita jadikan contoh dan referensi.

Tiga bagian di atas adalah corak yang paling tampak tentang santri. Membaca secara internal, santri tentu tidak boleh bangga dengan semata mempunyai identitas-identitas di atas. Melainkan, santri harus mempunyai komitmen tinggi untuk intens mengembangkan ilmu pengetahuan agama yang merupakan modal besar dalam menjawab permasalahan masyarakat tempat tinggalnya kelak. Pengembangan ilmu pengetahuan agama dapat digali dari sumber otentiknya melalui jalur riwayat yang tidak pernah putus sampai kita. Kitab-kitab ulama klasik diwariskan secara muttashil kepada santri. Dalam keyakinan santri, kitab-kitab tersebut – yang terkenal dengan kitab kuning – merupakan bentuk interpretasi terhadap al-Qur’an dan hadis. Tentang dua kitab tersebut, semua sepakat bahwa pedoman dunia akhirat terletak di sana. Dengan demikian, memahami kitab kuning merupakan bentuk pemahaman terhadap al-Qur’an dan hadis.

Dari berbagai dimensi, kitab kuning seolah memanjakan kita untuk menganggap cukup mendalaminya dan berhenti di situ saja. Kitab kuning membahas seluruh dimensi kehidupan, dunia dan akhirat. Padahal, santri harus bijak merespon fakta sosial yang terus bergulir dengan tanpa memaksakan sesuatu yang memang sudah tidak bisa dijawab dengan referensi kitab kuning. Di sini, santri harus cerdas memberikan terobosan-terobosan up date sesuai prinsip-prinsip yang dicantumkan dalam kitab kuning.

Secara lebih tegas, dalam kancah pengembangan keilmuan, santri mempunyai tugas sebagai berikut. Pertama, santri menjaga komitmen untuk senantiasa mengamalkan ajaran Islam dari sumber-sumber yang kuat tanpa kontradiksi. Dalam menghadapi suatu masalah, santri menjawab berdasarkan perspektif sumber tertentu yang terkuatkan oleh sumber lain, tanpa ada kontradiksi. Kedua, santri mempunyai pandangan yang holistik tentang permasalahan-permasalahan. Koherensi pemikiran terhadap fakta sosial merupakan kecerdasan yang dimiliki santri. Masalah sosial bukan berarti lepas dari masalah teologi, juga tidak dapat dipisahkan dari wilayah moral. Dengan demikian, berbagai perspektif telah disiapksan santri. Tentu, ini melihat kebutuhan konteks. Ketiga, teori yang diterima dan dipelajari santri sejalan dengan prakteknya. Korespondesi ilmu dan amal merupakan suatu keharusan bagi seorang santri.

Melihat tantangan yang semakin runyam, tugas santri dalam wilayah sosial semakin terasa. Bekal-bekal yang diperoleh santri di pesantren dengan epistemologi di atas seharusnya dapat diaplikasikan secara nyata di masyarakat kelak. Semakin hari, masyarakat semakin gersang hingga memandang kebenaran dan kesalahan hampir mirip dan semakin kabur. Santri tidak boleh tinggal diam atas penyakit ini. Sensivitas yang tinggi merupakan modal spiritual guna cepat tanggap terhadap masalah sosial. Menilik perjuangan Kyai-kyai, santri tidak boleh mundur satu langkah pun. Merasakan permasalahan aktual, santri tidak boleh membisu tanpa respon sebagai suntikan yang mengobati. Membayangkan masa depan, santri tidak boleh pesimis. Bukanlah santri, apabila mati oleh terpaan angin patologis, bukanlah santri apabila tidak memandang cahaya pencerahan di masa mendatang. Wallahu a’lamu bi al-shawab.(red-Alw)
sumber : http://pplq.wordpress.com/2009/06/19/santri-di-era-globalisasi/

Read More......

Rabu, 15 Juli 2009

PESANTREN DALAM PROSES TRANSFORMASI SOSIAL DAN MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM

Institusi pendidikan di Indonesia yang telah mengenyam sejarah paling panjang di antaranya adalah pesantren. Institusi ini lahir, tumbuh, dan berkembang telah lama. Bahkan, semenjak belum dikenalnya lembaga pendidikan lainnya di Indonesia, pesantren telah hadir lebih awal.

Dalam kesejarahannya yang amat panjang itu, pesantren terus berhadapan dengan banyak rintangan, di antaranya pergulatan dengan modernisasi. M. Dawam Rahardjo, salah seorang pemikir muslim Indonesia, pernah ‘menuduh’ bahwa pesantren merupakan lembaga yang kuat dalam mempertahankan keterbelakangan dan ketertutupan. Dunia pesantren memperlihatkan dirinya bagaikan bangunan luas, yang tak pernah kunjung berubah. Ia menginginkan masyarakat luar berubah, tetapi dirinya tidak mau berubah. Oleh karena itu, ketika isu-isu modernisasi dan pembangunan yang dilancarkan oleh rezim negara jelas orientasinya adalah pesantren.[1]

Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga kependidikan yang tahan terhadap gelombang modernisasi. Padahal, di berbagai kawasan Dunia Muslim, lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seringkali lenyap, tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan modern atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum; atau setidak-tidaknya menyesuaikan diri dan mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan modern itu. Kenyataan ini dapat dilihat pada kelembagaan pendidikan tradisional di kawasan Timur Tengah yang tersimplifikasi atas tiga jenis: madrasah, kuttab, dan masjid. Hingga pertengahan akhir abad ke-19, ketiga lembaga pendidikan tradisional Islam ini relatif mampu bertahan. Akan tetapi, sejak perempatan terakhir abad ke-19, gelombang pembaharuan dan modernisasi yang semakin kencang telah menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak bisa dimundurkan lagi dalam eksistensi lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional itu.

Dalam catatan Azyumardi Azra, pembaharuan dan modernisasi pendidikan Islam dimulai di Turki pada awal pertengahan abad ke-19 yang kemudian menyebar hampir ke seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani di Timur Tengah. Akan tetapi, program pembaharuan pendidikan di Turki itu semula tidak menempatkan medresse (madrasah) sebagai obyek pembaharuan. Yang terjadi adalah pembentukan sekolah-sekolah baru sesuai dengan sistem pendidikan Eropa, yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan reformasi militer dan birokrasi Turki Usmani, yang ditandai dengan kemunculan “Mekteb-ilm-I Harbiye” (sekolah militer) pada 1834 sesuai dengan model Prancis. Tekanan paling kuat yang dihadapi oleh Medresse terjadi pada 1924 ketika Musafa Kemal Ataturk menghapuskan sistem medresse dengan mengubahnya menjadi sekolah-sekolah umum.[2]

Nasib yang sama dengan Madrasah juga dialami oleh lembaga pendidikan kuttab di Mesir. Muhammad Ali Pasya pada tahun 1833 mengeluarkan dekrit pembentukan sekolah dasar dan menengah umum dengan mengajarkan ilmu-ilmu umum, seperti ilmu ukur, aljabar, menggambar, dan lain-lain. Sekolah umum itu pada awalnya hidup berdampingan dengan madrasah dan kuttab. Akan tetapi, pada kelanjutannya madrasah dan kuttab secara umum tidak mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan kedua lembaga itu hanya menjadi pelengkap bagi sekolah umum, terutama untuk mendapatkan tambahan pelajaran agama. Tantangan ini mencapai titik klimaknya pada tahun 1961 ketika Gamal Abdel Nasser menghapuskan sistem madrasah dan kuttab.[3]

Pengalaman lembaga pendidikan tradisonal Islam di Turki dan Mesir di atas agaknya cukup memadai untuk mendeskripsikan proses-proses memudar dan lenyapnya sistem pendidikan tradisional Islam dalam alunan gelombang modernisasi yang dibunyikan oleh para penguasa di masing-masing negara tersebut. Kondisi sosiologis dan politis yang menimpa medresse di Turki atau madrasah dan kuttab di Mesir pada segi-segi tertentu agaknya berbeda dengan situasi sosiologis yang mengitari pesantren di Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut pada gilirannya membuat pesantren mampu tetap bertahan.

Respon Pesantren

Gelombang modernisasi sistem pendidikan di Indonesia pada awalnya tidak dikumandangkan oleh kalangan Muslim. Sistem pendidikan modern pertama kali yang pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan Islam justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda, terutama dengan mendirikan volkschoolen, sekolah rakyat atau sekolah desa. Akan tetapi, sekolah desa ini pada awalnya cukup mengecewakan, lantaran tingkat putus sekolah yang sangat tinggi dan mutu pengajaran yang amat rendah. Namun di sisi lain, eksperimentasi Belanda dengan sekolah desa atau sekolah nagari, sejauh dalam kaitannya dengan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam, merupakan transformasi sebagian surau di Minangkabau menjadi sekolah nagari model Belanda.

Di samping menghadapi tantangan dari sistem pendidikan Belanda, pendidikan tradisional Islam, dalam hal ini pesantren, juga berhadapan dengan tantangan yang datang dari kaum reformis atau Modernis muslim. Gerakan reformis Muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20 menuntut diadakannya reformulasi sistem pendidikan Islam guna menghadapi tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen. Dalam konteks ini, reformasi kelembagaan pendidikan modern Islam diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam, seperti Sekolah Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada 1909 dan sekolah-sekolah umum model Belanda yang mengajarkan al-Quran, yang didirikan oleh organisasi semacam Muhammadiyah. Kedua, madrasah-madrasah modern yang pada titik tertentu menganulir substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda, seperti Sekolah Diniyah Zainuddin Labay el-Yunusi atau Sumatera Thawalib.

Berkaitan dengan kenyataan di atas, ada benarnya jika kemudian analisis Karel A. Stenbrink dimunculkan. Menurut pengamat keislaman asal Belanda itu, pesantren meresponi atas kemunculan dan ekspansi sistem pendidikan modern Islam dengan bentuk “menolak sambil mengikuti”.[4] Komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis, tetapi pada saat yang sama mereka juga mengikuti jejak langkah kaum reformis dalam batas-batas tertentu yang sekiranya pesantren mampu tetap bertahan. Oleh karena itu, pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan adjustment yang dianggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren, tetapi juga bermanfaat bagi para santri. Dalam wujudnya secara kongkrit, pesantren merespon tantangan itu dengan beberapa bentuk. Pertama, pembaruan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum dan keterampilan (vocational).[5] Kedua, pembaharuan metodologi, seperti sistem klasikal dan penjenjangan.[6] Ketiga, pembaharuan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan.[7] Dan Keempat, pembaruan fungsi, dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial-ekonomi.[8]

Indigenousitas Pesantren

Pesantren merupakan dunia tradisonal Islam yang mampu mewarisi dan memelihara kesinambungan tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu. Oleh karena itu, ketahanan lembaga pesantren agaknya secara implisit menunjukkan bahwa dunia Islam tradisi dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan di tengah deru modernisasi, meskipun bukan tanpa kompromi. Memang, pada awalnya, dunia pesantren terlihat ‘rikuh’ dan hati-hati dalam menerima modernisasi sehingga terdapat ‘kesenjangan antara pesantren dengan dunia luar’. Akan tetapi, secara gradual pesantren melakukan akomodasi dan konsesi tertentu yang dipandangnya cukup tepat dalam menghadapi modernisasi dan perubahan secara luas. Akan tetapi, satu hal yang perlu diingat bahwa semua akomodasi dan konsesi itu dilakukan pesantren tanpa mengorbankan esensi dan hal-hal dasariah eksistensi pesantren.

Keniscayaan bahwa pesantren tetap utuh hingga kini bukan hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam melakukan akomodasi-akomodasi tertentu seperti terlihat di atas, tetapi juga lebih banyak disebabkan oleh karakter eksistensialnya. Karakter yang dimaksud adalah, sebagaimana dikatakan oleh Nurcholish Madjid, pesantren tidak hanya menjadi lembaga yang identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai lembaga yang murni berkarakter keindonesiaan, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya, sehingga antara pesantren dengan komunitas lingkungannya memiliki keterkaitan erat yang tidak bisa terpisahkan. Hal ini tidak hanya terlihat dari hubungan latar belakang pendirian pesantren dengan lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, sadaqah, hibah, dan sebagainya. Sebaliknya, pihak pesantren melakukan ‘balas jasa’ kepada komunitas lingkungannya dengan bermacam cara, termasuk dalam bentuk bimbingan sosial, kultural, dan ekonomi. Dalam konteks terakhir inilah, pesantren dengan kyainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai ‘cultural brokers’ (pialang budaya) dalam pengertian seluas-luasnya.

Pesantren dan Perubahan Sosial

Di samping karakter dasariah di atas, pesantren juga memiliki karakter plural, tidak seragam. Pluralitas pesantren ini di antaranya ditunjukkan oleh tiadanya sebuah aturan apapun—baik menyangkut manajerial, administrasi, birokrasi, struktur, budaya, kurikulum maupun apalagi pemihakan politik—yang dapat mendefinisikan pesantren menjadi tunggal. Aturan hanya datang dari pemahaman keagamaan yang dipersonifikasikan melalui berbagai Kitab Kuning. RMI (rabithah Ma’ahid al-Islamiyah), Asosiasi Pondok Pesantren Seluruh Indonesia, dan NU (Nahdlatul Ulama) sekalipun tidak mempunyai kekuatan untuk memaksa pesantren. Oleh karena tingkat pluralitas dan independensi yang kuat inilah, dirasakan sulit untuk memberikan rumusan konseptualisasi yang definitif tentang pesantren.[9]

Atas kemandirian pesantren ini, Martin van Bruinessen, salah seorang peneliti keislaman dari Belanda, meyakini bahwa di dalam pesantren terkandung potensi yang cukup kuat dalam mewujudkan masyarakat sipil (civil society). Sungguhpun demikian, menurutnya, demokratisasi tetap tidak bisa diharapkan melalui instrumentasi pesantren. Sebab, dalam pandangan Martin, kiai-ulama di pesantren adalah tokoh yang lebih dominan didasarkan atas nilai kharisma. Sementara, antara kharisma dan demokrasi, keduanya tidak mungkin menyatu.[10] Walaupun demikian, menurut Martin, kaum tradisional, termasuk komunitas pesantren, di banyak negara berkembang tidak dipandang sebagai kelompok yang resisten dan mengancam modernisasi.[11] Dalam kaitan ini, penting dikemukakan hasil analisis Snouck Hurgronje yang mempermasalahkan kaum tradisional. Hurgronje mencatat bahwa,

“Islam tradisional Jawa, oleh sebagian kalangan, dianggap demikian statis dan demikian kuat terbelenggu oleh pikiran-pikiran ulama abad pertengahan. Sebenarnya tidak demikian. Mereka telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental, tetapi perubahan-perubahan itu dilakukan melalui tahapan-tahapan yang rumit dan tersimpan. Lantara itulah, para pengamat yang kurang mengenal pola pikiran Islam tradisional tidak bisa melihat perubahan-perubahan itu, walaupun sebenarnya hal itu terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara seksama”.[12]

Watak dasariah pesantren yang diidentikkan dengan penolakan terhadap isu-isu pemusatan (sentralisasi) merupakan potensi luar biasa bagi pesantren dalam memainkan transformasi sosial secara efektif. Oleh karenanya, pesantren adalah kekuatan masyarakat dan sangat diperhitungkan oleh negara. Oleh karena itu, dalam kondisi sosial-politik yang serba menegara dan dihegemoni oleh wacana kemodernan, pesantren dengan ciri-ciri dasariahnya mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama kepada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan, dengan kemampuan fleksibilitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial-budaya, bahkan politik dan ideologi negara, sekalipun.[13]

Akhir

Memperhatikan wacana di atas, tampaknya cukup jelas bahwa pesantren memiliki kekuatan-internal dalam menghadapi gelombang modernisasi. Pada sisi kelembagaan pendidikan, pesantren tidak runtuh oleh derasan angin modern, berbeda dengan pengalaman lembaga pendidikan tradisional Islam lainnya yang pada titik tertentu lenyap dari deretan sejarah modern. Hal ini agaknya lebih banyak disebabkan oleh faktor dasariah yang dimiliki pesantren, di antaranya adalah menjadi lembaga indigenous keindonesiaan yang menyimpan kekuatan dalam kemandirian dan non-sentralisme. Kekuatan inilah pada akhirnya menjadi potensi yang luar biasa dalam melakukan usaha pemberdayaan masyarakat.
[1] Lihat M. Dawam Rahadjo, “Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan” dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), cet. ke-5, hal. 1.

[2] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. ke-1, hal. 95-96.

[3] Ibid.

[4] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986).

[5] Pesantren yang paling depan dalam bentuk respon ini adalah Pesantren Mambaul Ulum di Surakarta. Pesantren yang didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono pada tahun 1906 memasukkan mata pelajaran membaca (tulisan Latin), aljabar, dan berhitung ke dalam kurikulumnya. Langkah ini kemudian diikuti oleh pesantren lainnya, seperti Pesantren Tebuireng, dan Pondok Modern Gontor. Sementara pesantren yang menyediakan pendidikan dan pelatihan (vocational) adalah organisasi Persarekatan Ulama di Jawa Barat yang pada tahun 1932 mendirikan “Santri Asrama” dengan Haji Abdul Halim sebagai penggeraknya.

[6] Pesantren dengan menggunakan sistem klasikal dan penjenjangan ini tampaknya sangat banyak, terutama ketika pesantren bersentuhan dengan sistem lembaga persekolahan.

[7] Untuk sekedar menyebut contoh, Pesantren Maskumambang di Gresik didirikan pada 1859 yang dipimpin secara individual oleh KH. Abdul Jabbar. Akan tetapi, pada tahun 1958, kepemimpinan pesantren ini diserahkan kepada Yayasan Kebangkitan Umat Islam. Diversifikasi kelembagaan juga dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah umum yang mengikuti sistem dan kurikulum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Misalnya, Pesantren Miftahul Muta’allimin di Babakan Ciwaringin Cirebon mendirikan sebuah STM, Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang pada September 1965 mendirikan Universitas Darul Ulum yang terdaftar pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[8] Pesantren Tebuireng dan Rejoso terutama pada masa-masa kesulitan ekonomi pada dekade 1950-1960 mengarahkan para santrinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan vocational dalam bidang pertanian, seperti penanaman padi, kelapa, tembakau, kopi, dan lain-lain.

[9] Marzuki Wahid, “Pesantren di Lautan Pembangunanisme: Mencari Kinerja Pemberdayaan”, dalam Marzuki Wahid, et.al (ed.) Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet. ke-1, hal. 145-147.

[10] Martin van Bruinessen, “Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Paska Khittah 26: Pergulatan NU Dekade 90-an”, dalam Ellyasa K.H. Darwis (ed.), Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1994), cet. ke-1, hal. 77-78.

[11] Pengantar LKiS dalam Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. vi.

[12] Dikutip dari Clifford Geertz, “Modernization in A Moslem Society: The Indonesian Case”, da;am Quest, vol. 39 (Bombay: 1963), hal. 16.

[13] Baca Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), cet. ke-1.
sumber :http://suwendi2000.wordpress.com/2009/06/22/pesantren-dalam-proses-transformasi-sosial/

Read More......

Gaya Hidup Modern Para Santri

Zaman ini, peralatan yang memudahkan manusia semakin bertambah. Mulai dari blender hingga laptop. Gaya hidup hedonis mulai menjalar ke segala penjuru dunia. Masyarakat, khususnya kaum muda tergila-gila oleh teknologi yang memanjakan mereka. Bahkan, lingkup pesantren sudah mulai terpengaruh.

Bagaimana santri bisa maju dengan gaya hidup yang glamour, dan mereka tidak terlalu terpengaruh? Jawabannya adalah santri menggunakan teknologi itu seperlunya. Gaya hidup yang tak terlalu dipikirkan oleh mereka. Mungkin mereka hanya tertarik dengan mode dan musik saja. Santri biasanya memakai teknologi yang ada manfaatnya saja.

Seorang santri bisa saja duduk di Starbuck, yang katanya ikon kafe para pemuda dan eksekutif itu sambil berselancar di internet dengan macbooknya dan memegang iPhone. Akan tetapi santri itu bisa Bahasa Arab dan Inggris baik lisan dan tulisan juga mampu menghapal al-Qur’an.

Contoh itulah yang harus ditiru oleh santri-santri yang mampu melaju di tengah badai zaman tanpa harus malu membeberkan identitasnya sebagai santri. So, tidak ada yang dikhawatirkan dengan adanya gadget yang menunjang kegiatan manusia. Dari sisi manfaat juga banyak. Dengan ponsel atawa MP3, santri bisa mengaji al-Qur’an atau membaca dan menela’ah kitab kuning. Lalu dengan gadget itu, mereka bisa memanage timming mereka untuk beribadah dan melakukan kegiatan lainnya. Laptop juga bisa digunakan unuk dakwah dengan mengetik tulisan dan mengirimnya ke media masa atau mempublikasikannya sendiri di blog.

Santri modern tampilannya juga tidak terlalu urakan apalagi funk. Santri lebih baik berpenampilan sederhana meskipun sedikit modis. Bolehlah pakai jeans, tap nggak usah di model bolong-bolong lututnya. Juga nggak usah pakai baju yang aneh-aneh. Rambut juga nggak usah dimodel. Cukup yang rapi dan terlihat keren.

Santri yang dikatakan modern juga berfikiran maju untuk dirinya, orang lain, pesantrennya, masyarakat, hingga negaranya. Santri harus punya ide yang membangun dan memiliki ciri-ciri seperti Siddiq, Amanah, Tablig, Fathanah.

Siddiq merupakan elemen penting bagi santri. Jika santri tidak dipercaya oleh masyarakat, maka kesantriannya berkurang atau bahkan tidak ada. Kalau Siddiq sudah diraih maka yang dibutuhkan adalah Amanah. Seseorang yang dibebani amanat harus dilaksanakannya. Apabila santri tidak bisa memegang amanat maka ia tidak Siddiq di mata masyarakat sekitarnya dan ia merusak nama baik santri. Akibatnya ia tidak akan disuruh menjadi imam di musholla atau memberikan kultum dan tidak akan disegani atau diundang dalam berbagai acara di masyarakat.

Untuk mendakwahkan segala ilmu yang telah santri dapatkan kepada masyarakat dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dia harus memiliki sifat Tablig. Mengapa harus menggunakan sifat ini. Karena santri diterjunkan kepada masyarakat semata-mata untuk megajak mereka ke jalan yang lurus karena santri adalah calon ulama di mata masyarakat. Percuma kalau santri tidak bisa minimal ceramah atau kultum, mungkin sangat malu dan tidak parcaya diri karena banyak orang non santri bisa ceramah di depan orang lain.

Terakhir, santri harus Fathanah yaitu pintar dan cerdas. Pintar dalam keilmuan Kauniah dan Dirosah Islamiyah seperti ilmu Fiqih, ilmu Hadist, ilmu Tafsir, dsb. Ia juga harus cerdas dan inisiatif dalam semua acara kemasyarakatan, aktif dalam musyawarah antara masyarakat sekitar, sering mengemukakan pendapat di dalam kesempatan apapun. Santri juga harus beradab dan bersopan santun dalam menghadapi masyarakat. Apa jadinya, kalau santri tidak cerdas dan beradab? Mungkin masyarakat akan menjauhinya otomatis ketiga cirinya juga tidak terhapus karena Fathanah adalah sifat pelengkap para santri.

Selain empat ciri di atas, mungkin masih kurang jika hanya itu. Santri sebagai Power of Islam harus mengusai bahasa Arab dan Inggris. Karena bahasa Arab adalah termasuk doktri Islam dan bahasa al-Qur’an serta bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Santri harus menguasai keduanya baik lisan maupun tulisan. Terus, ada nilai plusnya jika santri bukan hanya menguasai bahasa, dia juga Hafizd al-Qur’an. Maka dia adalah santri multitalenta.

Jadi, santri itu nggak gampang untuk jadi panutan atau mungkin jadi santri yang maju di masyarakat nanti. Harus ada kiat-kiat tertentu untuk meraihnya yang membuatnya menjadi hebat. Santri yang intelek bukan cuma santri yang ecek-ecek.
sumber :http://izzunnoor.wordpress.com/2009/03/10/gaya-hidup-modern-para-santri/

Read More......

Pesantren Dalam Perspektif Globalisasi

Era globalisasi telah merambah ke berbagai bidang dan segala aspek kehidupan. Begitu juga dengan yang dialami pondok pesantren dari masa ke masa. Walaupun demikian, perubahan yang dialami tidaklah terlalu signifikan. Suasana pondok pesantren yang begitu tenteram, teduh, sederhana dan penuh kedamaian nyaris tidak berubah. Jika diamati, pesantren sedang mengalami tumbuh kembang. Tumbuh dengan jumlah santri yang membludak, sarana prasarana yang yang semakin lengkap. Dikatakan berkembang karena dapat menjangkau segala sendi-sendi masyarakat yang semakin kompleks.
Format baru.
Sulit membayangkan bagaimana posisi dunia pesantren ketika ia tiba-tiba harus hidup di tengah-tengah masyarakat global dengan budaya dan peradaban. Dunia global sedang berada dalam masa transisi yang luar biasa seriusnya, yang jika para santri dan dunia pesantren tidak dapat menjalankan peranan yang semestinya dilakukan. Peran pesantren tidak dapat dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak pesantren mampu menjadi motor penggerak perjuangan melawan penjajah. Dan hingga kini, pesantren telah banyak “menelurkan” tokoh-tokoh nasional yang pernah merasakan kawah candradimuka dunia pesantren. Dengan berbagai keunikannya, mulai dari cara hidup yang dianut, pandangan hidup atau tata nilai, telah menempatkan pesantren sebagai sebuah subkultur dari masyarakat Indonesia . Dengan pola kehidupannya yang unik serta tradisional yang tetap dipegang teguh, pesantren mamapu bertahan selama berabad-abad di tengah-tengah parubahan globalisasi yang semakin cepat untuk mempergunakan nilai-nilai kehidupannya sendiri.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren telah terbukti mampu bertahan sampai sekarang sejak pertama kali diperkenalkan. Sementara arus globalisasi dan modernisasi sedemikian hebatnya menerpa setiap sendi kehidupan, termasuk juga dengan yang dialami pesantren. Namun demikian hal itu tidak serta merta langsung mempengaruhi pola kehidupan pesantren yang telah sangat kuat mengakar. Pesantren tetap memiliki tempat terhormat sebagi lembaga pendidikan Islam khas Indonesia . Pesantren masih tetap eksis terselenggara dan lulusannya dapat memainkan peranan yang berharga dibidang keilmuan atau kepemimpinan dan belum ada lembaga pendidikan yang berhasil melahirkan ulama dari generasi ke generasi dalam kapasitas sebagaimana yang dilakukan pesantren. Pesantren dari masa ke masa terus mengalami perubahan sebagian dari mereka menyadari dan merencanakan perubahan itu, sedangkan yang lainnya ada yang terperangkap ke dalam perubahan tanpa di sadari perencanaan apapun selain hanya kuatnya tekanan dari luar. Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat dan sekaligus sebagai simpul budaya, maka itulah pondok pesantren. Biasanya peran-peran itu tidak langsung terbentuk melainkan melewati tahap demi tahap.
Pilihan yang dilematis
Globalisasi dan modernisasi adalah dua sisi dari satu mata uang. Ia juga menawarkan pilihan yang ambivalen, satu sisi berkah kalau kita siap, dan mungkin juga membawa petaka kalau kita gagap. Globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang nyata dan mau tak mau akan kita hadapi bersama. Ada baiknya jika kalangan pesantren bersikap bijak dalam menghadapi masalah ini. Jika pesatren dengan tegas menolak globalisasi dengan alasan melestarikan tradisi, jelas ini akan merugikan pesantren sendiri. Sebagai contohnya para santri di Pesantren Darunnajah di Jakarta ternyata telah akrab dengan e-mail karena di salam pesantren tersebut ada sebuah warnet yang dipergunakan para santri. Di Pesantren Annida Bekasi telah memberikan materi pendidikan e-mail dan internet kepada para santri-santrinya. Bahkan Ponpes Sidogiri, Pasuruan telah memiliki situs sendiri yang menyajikan berbagai info keagamaan, perkembangan pemikiran agama, hingga aktivitas pesantren dengan baik.
Di sisi lain, meninggalkan tradisi dan konstruksi yang telah lama tertanam juga merupakan suatu kesalahan yang besar, karena seolah pesantren akan melupakan identitas dan sejarahnya yang telah susah payah dibangun oleh para leluhur. Ada yang bilang, akan lebih baik jika pesantren menggunakan kaidah Ushul Fiqih Al muhafadhotu alaa qodimi shalih wal akhdu bi jadidil ashlah, melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menggali nilai-nilai baru yang lebih baik. Oleh karena itu sudah selayaknya pesantren membuka pintunya dan mendorong santrinya untuk belajar teknologi modern dan media global. Namun tentu saja harus harus sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan pesantren. Mungkin ada sebagian yang bertanya, mengapa pesantren sebagai sebuah lembaga mampu bertahan sampai sekarang? sementara arus globalisasi dan modernisasi sedemikian hebatnya menerpa setiap sendi kehidupan. Pesantren sebagai elemen dari komunitas sosial sudah tentu tidak terlepas dari proses globalisasi dan modernisasi tresebut. Dalam bidang pendidikan, sejarah mencatat bahwa pesantren yang notabene memiliki fungsi tarbiyah tidak begitu bergeming terhadap globalisasi. Pada kenyataannya pesantren mampu mengisi ruang kosong yang tidak bisa dipenuhi lembaga pendidikan modern; seperti tawuran dan pemakaian obat-obatan terlarang.
Proses globalisasi menempatkan pesantren pada posisi yang dilematis, antara memilih mempertahankan tradisi dengan risiko “ketinggalan” zaman, atau ikut terbawa arus globalisasi dengan segala risikonya. Berbagai keunikan pesantren mulai dari cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti menempatkan pesantrensebagai sebuah subkultur. Dengan pola kehidupannya yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai kehidupannya sendiri. Oleh karena itu, menurut Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah) empat sikap yang dilakukan pesantren dalam menghadapi proses globalisasi. Pertama, pembaruan isi pendidikan dengan memasukkan subyek-subyek umum, kedua pembaruan metodologi;, pembaruan kelembagaan, dan keempat pembaruan fungsi dari yang semula hanya fungsi kependidikan, dikembangkan sehingga juga mencakup fungsi sosial-ekonomi.
sumber :http://madingannaja.blogspot.com/2009/02/pesantren-dalam-perspektif-globalisasi.html

Read More......

Selasa, 14 Juli 2009

Presiden Teladan, Presiden Termiskin Dunia

Semoga ini menjadi bahan renungan kita, terutama orang kalangan atas pejabat dan menteri
Presiden Iran saat ini: Mahmoud Ahmadinejad, ketika di wawancara oleh TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya:

"Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan pada diri anda?"Jawabnya: "Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya: "Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran ."





Berikut adalah gambaran Ahmadinejad yang belum tentu orang ketahui, dan pastiyang membuat orang ternganga dan terheran-heran :


1. Saat pertama kali menduduki kantor kepresidenan
Ia menyumbangkan seluruh karpet Istana Iran yang sangat tinggi nilainya itu
kepada masjid2 di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.

2. Ia mengamati bahwa ada ruangan yang sangat besar untuk menerima dan menghormati tamu VIP,
lalu ia memerintahkan untuk menutup ruang tersebut dan menanyakan pada protokoler
untuk menggantinya dengan ruangan biasa dengan 2 kursi kayu, meski sederhana tetap terlihat impresive.



3. Di banyak kesempatan ia bercengkerama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenannya.

4. Di bawah kepemimpinannya, saat ia meminta menteri2 nya untuk datang kepadanya
dan menteri2 tsb akan menerima sebuah dokumen yang ditandatangani yang berisikan arahan2 darinya,
arahan tersebut terutama sekali menekankan para menteri2nya untuk tetap hidup sederhana
dan disebutkan bahwa rekening pribadi maupun kerabat dekatnya akan diawasi,
sehingga pada saat menteri2 tsb berakhir masa jabatannya dapat meninggalkan kantornya dengan kepala tegak.

5. Langkah pertamanya adalah ia mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977,
sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah kumuh di Teheran.
Rekening banknya bersaldo minimum, dan satu2nya uang masuk adalah uang gaji bulanannya.

6. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai US$ 250.

7. Sebagai tambahan informasi, Presiden masih tinggal di rumahnya.
Hanya itulah yang dimilikinyaseorang presiden dari negara yang penting baik secara strategis, ekonomis, politis,
belum lagi secara minyak dan pertahanan.
Bahkan ia tidak mengambil gajinya, alasannya adalah bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia bertugas untuk menjaganya.

8. Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yg selalu dibawa sang presiden tiap hari selalu berisikan sarapan;
roti isi atau roti keju yang disiapkan istrinya dan memakannya dengan gembira,
ia juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden.

9. Hal lain yang ia ubah adalah kebijakan Pesawat Terbang Kepresidenan,
ia mengubahnya menjadi pesawat kargo sehingga dapat menghemat pajak masyarakat dan untuk dirinya,
ia meminta terbang dengan pesawat terbang biasa dengan kelas ekonomi.

10. Ia kerap mengadakan rapat dengan menteri2 nya untuk mendapatkan info tentang kegiatan dan efisiensi yang sdh dilakukan,
dan ia memotong protokoler istana sehingga menteri2 nya dapat masuk langsung ke ruangannya tanpa ada hambatan.
Ia juga menghentikan kebiasaan upacara2 seperti karpet merah, sesi foto, atau publikasi pribadi,
atau hal2 spt itu saat mengunjungi berbagai tempat di negaranya.


11. Saat harus menginap di hotel, ia meminta diberikan kamar tanpa tempat tidur yg tidak terlalu besar
karena ia tidak suka tidur di atas kasur, tetapi lebih suka tidur di lantai beralaskan karpet dan selimut.
Apakah perilaku tersebut merendahkan posisi presiden?
Presiden Iran tidur di ruang tamu rumahnya sesudah lepas dari pengawal2nya yg selalu mengikuti kemanapun ia pergi.
Menurut koran Wifaq, foto2 yg diambil oleh adiknya tersebut,
kemudian dipublikasikan oleh media masa di seluruh dunia, termasuk amerika

12. Sepanjang sholat, anda dapat melihat bahwa ia tidak duduk di baris paling muka

13. Bahkan ketika suara azan berkumandang,
ia langsung mengerjakan sholat dimanapun ia berada meskipun hanya beralaskan karpet biasa

14. baru-baru ini dia baru saja mempunyai Hajatan Besar Yaitu Menikahkan Puteranya. Tapi pernikahan putra Presiden ini hanya layaknya pernikahan kaum Buruh. Berikut dokumentasi pernikahan Putra Seorang Presiden

sebegitu sederhanakah dia?


Mudah-mudahan di pemilu yang akan datang kita akan memiliki Presiden seperti itu......





SUMBER : www.Unik77.tk
SUMBER : http://tambakberas.com/

Read More......

Entri Populer

Sosok Juang












KH. Abdul Wahid Hasyim,
Pembaharu Dunia Pesantren
Read More>>>

  © Blogger template PingooIgloo by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP